Sopian Hadistiara*
“Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan
pribadinya”
Gaul, dong!
Pede aja lagi! Kasihan deh, lo! Nyantai aja, Coy! Begitulah antara lain “bahasa
gaul” yang seringkali kita dengar di kalangan remaja kini. ‘Bahasa gaul” itu
seakan telah menjadi bahasa resmi mereka. Bahkan bila dalatn pergaulan mereka
ada diantaranya yang menggunakan bahasa Indonesia – katakanlah – yang baku,
penggunaan bahasa tersebut seolah terdengar aneh dan dianggap norak dalam komunitasnya.
Nggak salah, sih, apabila para remaja menggunakan “bahasa gaul”. Sedangkan
dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu Pusat Pembinaan
Bahasa yang lebih berkompeten mengurusnya, Yang jelas-jelas salah adalah, jika
“bahasa gaul” yang digunakan bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan agama.
Namun nyatannya, disadari atau tidak, justru hal itu yang sering terjadi.
Dengan kata lain, banyak penggunaan “bahasa gaul” yang makna aplikatifnya
cenderung tidak dibatasi oleh nilai-nilai atau norma-norma tadi (norm/essness).
Gaul, dong!
Pede aja,
lagi!
“Pede” (PD)
adalah “bahasa gaul” yang mengungkapkan perlunya seseorang u.ntuk “percaya
diri”, Namun ironisnya, himbauan, saran, atau perlunya seorang untuk bersikap
“percaya diri1 ini juga cenderung tidak dibatasi oleh norma-norma tadi,
Misalnya seorang gadis berok mini dan berbaju you can see disarankan untuk
“pede” (baca : percaya diri) dengan pakaiannya itu. Bahkan bisa jadi si gadis memang
merasa lebih “pede” dengan model pakaian demikian. “Pede aja lagi !” Begitulah
bahasa mereka. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan perlunya seseorang
untuk bersikap “pede” namun tetap normlessness seperti tadi. Sebab ukuran
“pede” yang seharusnya berlandaskan pada keluhuran nilai-nilai moral dan agama,
terkikis oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kebendaan. Contoh lainnya,
seseorang merasa “pede” hanya lantaran kecantikan atau ketampanan wajahnya
semata, “pede” hanya jika ke sekolah atau ke kampus membawa motor atau mobil,
“pede” cuma karena mengandalkan status sosial keluarga, dan masih banyak kasus
yang lain, Sedangkan merasa “pede” setelah memakal deodoran di ketiak, itu sih,
tidak menjadi masalah. Daripada bauket dan mengganggu orang lain ? Ukuran
“pede” seperti itu, jelas nggak bermutu, selain juga keliru. Pasalnya,
pemahaman “pede” harus lebih ditempatkan dalam ukuran atau standarisasi
nilai-nilai ahlak. Bukan karena landasan fisik dan kebendaan semata.
Kasihan deh,
Lo!
Ungkapan ini
juga termasuk bahasa gaul yang masih cenderung normless. Sebab ungkapan
tersebut seringkali terlontar pada konteks yang tidak tepat. Sebagai contoh,
seorang remaja yang tidak mau mengikuti tren tertentu dianggap : “Kasihan deh,
Lo!”. Begitu pula dengan remaja yang membatasi diri dari perilaku lainnya yang
sesungguhnya memang perlu/harus dihindari karena tidak sesuai dengan nilai atau
norma-norma agama (Islam). Misalnya karena.tidak pernah “turun” ke diskotek
lengkap dengan ngedrink atau ngec/njgsnya, ataupun perilaku negatif lain yang
sudah menjadi bagian dari gaya hidup remaja. Bisa juga ungkapan “Kasihan deh,
Lu” ini tertuju pada remaja yang sama sekali tidak mengetahui berbagai
informasi yang memang sesungguhnya juga tidak perlu untuk diketahui. Seperti
tidak mengetahui siapa sajakah personil bintang “Meteor Garden” yang tergabung
dalam “f4″ itu ? Siapa pula “Delon” itu? Atau yang lainnya
Nyantai aja,
Coy!
Kekeliruan
lain yang juga menggejala dalam “bahasa gaul” remaja adalah ungkapan : “Nyantai
aja, Coy!” Tentu tidak masalah dalam kondisi tertentu kita “nyantai”, lebih
tepatnya adalah “bersantai” atau istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Namun
yang menjadi masalah apabila “Nyantai aja, Coy” disini konteksnya mirip dengan
lagu iklan Silver Queen : “‘…mumpung kiitaa masih muda, santai saja…” Ingat kan
? “Nyantai aja, Coy!” yang dilontarkan sebagian remaja seringkali bermakna
ketidakpedulian terhadap kemajuan atau prestasi diri. Sebagai contoh, seorang
remaja mengatakan, “Nyantai aja, Coy!” kepada temannya, karena temannya itu
terlihat gelisah lantaran belum belajar untuk persiapan ujian besok pagi,
“Nyantai aja, Coy!” terkadang bisa pula menunjukkan ketidakpedulian terhadap
lingkungan sosial atau orang lain. Misalnya, seorang remaja putri sedang asyik
ngobrol di telepon umum sementara banyak orang antri menunggu giliran. Ketika
salah seorang yang antri menegurnya, ia malah menjawab “Nyantai aja, Coy!” Jika
mau dicermati tentu masih banyak ungkapan : “Nyantai aja, Coy!” yang sering
dilontarkan para remaja namun tidak sesuai dengan konteksnya bahkan menafikan
keluhuran nilai-nilai akhlak, Repotnya, apabila mereka dinasihati untuk
men}auhi berbagai perilaku yang tidak baik, termasuk dalam menggunakan ungkapan
yang tidak tepat (karena tidak sesuai dengan konteksnya), maka dengan mudahnya
mereka malah berbalik mengatakan, “Nyantai aja, Coy!”
Membudayakan
bahasa gaul yang positif
Berbagai
ungkapan seperti: “Gaul, dong!”, “Pede aja lagi!”, “Kasihan deh, Lo!”, “Nyantai
aja, Coy!” atau mungkin berbagai ungkapan lain, dalam konteksnya sekali lagi
seringkali tidak tepat atau tidak dibatasi oleh nilai-nilai : baik atau buruk.
Karena ungkapan-ungkapan “bahasa gaul” itu mempunyai pengaruh psikologis yang
relatif cukup kuat dalam mempengaruhi seorang remaja dalam komunitas pergaulannya,
maka perlu adanya semacam upaya membudayakan “bahasa gaul” yang “positif” di
kalangan mereka.
Contoh yang benar menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut disesuaikan dengan konteksnya atau sejalan dengan nilai-nilai moral adalah sebagai berikut :
Contoh yang benar menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut disesuaikan dengan konteksnya atau sejalan dengan nilai-nilai moral adalah sebagai berikut :
Ungkapan
Gaul dong!.
“Sebagai
seorang pelajar atau mahasiswa, gaul dong dengan buku!”
“Masak pelajar atau mahasiswa gaulnya dengan ngedrugs, nongkrong, ngeceng, lagi”.
“Masak remaja muslim gaulnya seperti itu. Gaul dong dengan remaja masjid”.
“Masak pelajar atau mahasiswa gaulnya dengan ngedrugs, nongkrong, ngeceng, lagi”.
“Masak remaja muslim gaulnya seperti itu. Gaul dong dengan remaja masjid”.
Ungkapan
Pede aja, lagi!
“Kalau sudah
belajar, pede aja lagi!”
“Kalau kita berada dalam kebenaran, pede aja lagi!”
“Kalau sudah berpakaian sopan, kenapa mesti tidak pede!”
“Kalau kita berada dalam kebenaran, pede aja lagi!”
“Kalau sudah berpakaian sopan, kenapa mesti tidak pede!”
Ungkapan
Kasihan deh, Lo!
“Kasihan deh
Lo! Masak ngaku pelajar atau mahasiswa tapi berurusan dengan polisi (karena
terlibat narkoba misalnya).”
“Masak seorang muslim tidak bisa baca Al Quran. Kasihan deh, Lo! “
“Masak seorang muslim tidak bisa baca Al Quran. Kasihan deh, Lo! “
Ungkapan
Nyantai aja, Coy!
“Kalau kita
sudah belajar dengan maksimal, nyantai aja menghadapi ujian.”
Sebagai
remaja yang memiliki kemampuan berpikir, tentu kita tidak mau dong termasuk
orang yang “asbun” alias “asal bunyi” dalam bicara. Nah karena itu, sebaiknya
kita meninjau kembali apakah “bahasa gaul” yang setiap hah kita gunakan itu
sudah sesuai tidak konteksnya dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Biar
nggak asal bunyi. Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya.
Silakan saja menggunakan “bahasa gaul” sebagai cerminan bahwa kita memang
remaja yang senang bergaul. Namun hati-hati, jangan karena kita merasa bangga
jadi “anak gaul” tetapi “bahasa gaul” yang kita gunakan tidak tepat konteksnya
atau bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Sebab jika demikian
bisa-bisa kita justru disebut “anak yang salah gaul”. Ya nggak?!
*Penulis
adalah penulis buku dan pemerhati masalah sosial remaja, tinggal di Bogor
http://apit.wordpress.com/2006/09/17/bahasa-gaul-di-kalangan-remaja/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar