Dalam lingkup pekerjaan saya sebagai pegiat sosial di
salah satu lembaga kemanusiaan, saya sering berpindah-pindah tempat tugas.
Pertama kali bergabung dengan lembaga ini, saya ditugaskan ke suatu daerah di
Nusa Tenggara Timur. Nama daerahnya adalah Pulau Alor. Pertama kali datang,
saya yang dari Jakarta dengan Bahasa Indonesia bercampur lu gue sempat
bingung dengan bahasa Indonesia ala Alor. Hampir semua kalimat tanya diakhiri
dengan akhiran ko. Sebenarnya tidak tepat disebut akhiran namun saya
tidak tahu tepatnya disebut apa. Contoh: “Mau ke pasar ko?” atau ketika
setuju dengan sesuatu, maka dijawab, “Itu ko tidak”. Agak sulit memang
menjelaskan logat dalam bentuk tulisan. Tapi buat pembaca yang pernah di
bekerja atau mengunjungi NTT pastinya kenal betul dengan logat ini. Pulau Alor
dikenal memiliki lebih dari 600 bahasa. Padahal luas pulaunya tidak seberapa
besar dibanding pulau Bali atau Lombok misalnya. Karena banyaknya bahasa daerah
di pulau ini maka penggunaan Bahasa Indonesia menjadi sangat penting supaya
masyarakat di tempat yang satu bisa mengerti apa yang dimaksud masyarakat di
tempat lain. Itu baru soal akhiran.
Setelah dari Alor maka sayapun ditugaskan ke Papua.
Tepatnya di pegunungan tengah di satu kota yang bernama Wamena. Di sini
pengaruh logat dan bahasa daerah juga sangat kental. Kalau di Alor ada akhiran ko
maka di Wamena hampir semua kalimat tanya diakhiri dengan akhiran kah.
Contoh: “Iyo kah?” ketika ingin memastikan sesuatu. Atau, “Ko pu bapa
itu ada di rumah kah?” (arti: ayahmu ada?).
“Saya” di Wamena biasanya disingkat dengan “Sa”.
Contoh: “Begitu yang sa maksud..” (arti: itu maksud saya). Atau jika
tidak disingkat “Sa” maka ada kata ganti bahasa daerah yang digunakan sebagai
pengganti “Saya” yaitu “An”. Dalam keseharian bahasa dan logat daerah
terlalu sering bercampur dengan bahasa Indonesia. Kalau kita naik sedikit ke
atas. Naik ke atas di sini maksudnya ke wilayah utara yaitu di wilayah
Jayapura, maka kata ganti orang bisa lebih banyak lagi. Kata ganti orang
pertama (mungkin kalau saya salah, pembaca lain bisa mengoreksi) bisa Kitong
atau Kitorang atau bisa juga disingkat Tong atau Torang
saja. Buat yang belum terbiasa rasanya pasti aneh ketika mengucapkannya pertama
kali. Coba bayangkan kalau pengucapannya menggunakan logat Batak misalnya.
Dengan berbekal dua pengaruh bahasa daerah tersebut,
saya pun akhirnya ditugaskan ke Surabaya. Bisa dibayangkan, saya yang sudah
sekitar 2 tahun di Alor ditambah 6 tahun di Wamena, terbiasa menggunakan logat
dan dialek yang hampir sama sekarang harus berhadapan sehari-hari menggunakan
dialek Jawa Timur-an di Surabaya ini. Awalnya kacau. Saya masih saja
menggunakan akhiran kah dan toh yang kadang membuat lawan bicara kebingungan.
Kalau sudah bingung biasanya lawan bicara saya yang kebanyakan ibu-ibu atau mbok-mbok
yang ada di pasar (karena mau tidak mau saya harus berbelanja kebutuhan
sehari-hari di pasar dekat kompleks perumahan) cuma bisa bilang, “Sampeyan
ini ngomong opo?” dengan logat Jawa yang khas sambil dahinya sedikit
mengernyit.
Ini baru pengalaman saya. Saya yakin pasti banyak
orang lain yang sering berpindah-pindah tugas juga seperti saya yang mungkin
pada masa-masa awal tinggal di daerah baru merasa sulit menyesuaikan bahasa
sehari-hari dengan kondisi di tempat yang baru tersebut. Namun justru di
situlah letak kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Walau dalam penggunaan
sehari-hari masih terasa logat atau dialek bahasa daerah. dan kadang malah ada
sisipan kata bahasa daerahnya, tetap terasa bahwa memang bahasa Indonesia itu
yang penggunaannya masih tidak sempurna, itulah bahasa pemersatu kita. Bahasa
yang dikenal dari Sabang sampai Merauke. Bahasa yang masih saja terus
berkembang dengan masuknya istilah-istilah baru baik itu istilah asing atau
istilah bahasa daerah yang di-Indonesiakan.
Wuess sampeyan jangan malu menggunakan bahasa
Indonesia! Mau tidak sempurna dari sisi logat atau dialek, biar saja toh..
Yang penting kitong mengerti dan torang semua suka!
http://bahasa.kompasiana.com/2012/08/27/pengaruh-logat-dan-dialek-bahasa-daerah-ke-dalam-bahasa-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar